Kolonisasi Belanda di bawah kendali Prancis


 

Ketampakan kaldera Gunung Tambora, yang menjadi bukti letusan dahsyat gunung ini pada tahun 1815.


Potret Herman Willem Daendels.

Wilayah bangsa Belanda yang telah berada di bawah kendali bangsa Prancis secara praktis sejak kejatuhan negara Republik Belanda menjadi semakin kehilangan kedaulatannya semenjak Napoleon Bonaparte naik sebagai pemimpin Republik Prancis sejak tanggal 12 Desember 1799. Pada bulan Maret 1806, Napoleon yang telah mengubah bentuk negara Prancis menjadi kekaisaran sebelumnya membubarkan Persemakmuran Batavia dari bangsa Belanda dan membentuk negara boneka bernama Kerajaan Hollandia, lalu menunjuk Louis Bonaparte, adik Napoleon, sebagai raja atasnya. Hal ini secara tidak langsung membuat koloni di bawah Belanda menjadi milik Prancis.[91]

Pada tahun yang sama setelah penunjukannya, Louis mengirimkan salah satu jenderalnya yang berkebangsaan Belanda, yaitu Herman Willem Daendels, untuk menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Daendels tiba pada tanggal 5 Januari 1808 di Batavia dan langsung melakukan tugas-tugasnya seperti membentuk pasukan baru, membangun jalan-jalan baru di Jawa, dan memperbaiki administrasi internal di Jawa.[92][93]

Peta jalur Jalan Raya Pos AnyarPanarukan yang dibuat oleh Daendels.

Daendels dikenal dengan aturannya yang sangat keras dan kebijakannya yang bertangan besi, meskipin hal tersebut dimaksudkan sebagai persiapan dalam menghadapi ancaman Britania Raya. Daendels membangun banyak fasilitas dan benteng pertahanan, salah satu contoh yang terkenal adalah Jalan Raya Pos AnyarPanarukan yang memakan banyak korban pekerja paksa Heerendiensten,[94] Benteng Lodewijk di Surabaya, dan Paleis van Daendels (sekarang Gedung AA Maramis) di Batavia. Daendels juga terkenal keras terhadap penguasa-penguasa lokal dan keluarganya, serta menjadi penyebab jatuhnya negara Banten.[95]

Gaya kepemimpinan Daendels yang bertangan besi tersebut tentu saja menimbulkan rasa tidak suka dari penduduk setempat. Pemberontakan di Pulau Jawa yang dipimpin oleh Ronggo Prawirodirjo III pecah dari tanggal 20 November hingga 17 Desember 1810. Pemberontakan ini cepat diredam oleh pasukan dari pemerintah Hindia Belanda dan keraton Yogyakarta, sementara pemimpinnya gugur dalam peperangan.[96]

Pada tahun 1810, Jan Willem Janssens ditunjuk untuk menggantikan Daendels. Janssens tiba di Jawa pada tanggal 15 Mei 1811 dan langsung melaksanakan tugasnya, tetapi akhirnya terhenti ketika Britania Raya menyerbu dan mengambil alih Jawa pada bulan Agustus 1811.[97]

Kolonisasi singkat Britania Raya

Sebagai akibat dari peperangan era Napoleonbangsa Inggris yang membentuk Persatuan Kerajaan Britania Raya dan Irlandia berusaha untuk merebut koloni-koloni milik bangsa Prancis di seluruh dunia, termasuk koloni Hindia Belanda yang dikuasai oleh Kekaisaran Prancis setelah kedaulatan Belanda jatuh ke tangan bangsa Prancis. Pada tahun 1809, armada Britania di anak benua India, yang berafiliasi dengan Perusahaan Hindia Timur Britania (EIC), berangkat menuju Hindia Belanda dengan maksud untuk merebut wilayah tersebut dari tangan Prancis dan Belanda. Setahun setelahnya, armada Britania telah menguasai wilayah Kepulauan Maluku dengan kerugian yang minimal.[98] Kemudian pada bulan Agustus 1811, armada Britania mulai menyerbu Pulau Jawa dan menduduki satu per satu pos milik pasukan Prancis dan Belanda di Jawa. Setelah perlawanan dari pasukan Belanda dan Prancis tidak membuahkan hasil, akhirnya pada tanggal 16 September, Jan Willem JanssensGubernur Jenderal Hindia Belanda yang lari dari Batavia karena penyerbuan tersebut, akhirnya menyerahkan diri di Salatiga. Lalu pada tanggal 18 September, pasukan Belanda melakukan penyerahan kekuasaan secara resmi atas Pulau Jawa kepada armada Britania di Tuntang.[99][100] Setelah itu, Gilbert Elliot-Murray-Kynynmound dari Minto, yang menjabat sebagai Gubernur Jenderal India pada saat itu, menunjuk Thomas Stamford Raffles sebagai Letnan Gubernur Jawa.[101]

Sir Thomas Stamford Bingley Raffles, tokoh sentral dalam kolonialisme di Nusantara oleh Britania Raya.

Selama menjabat, Raffles merombak beberapa aturan Belanda yang memberatkan rakyat setempat, seperti Heerendiensten, kebijakan penyerahan hasil bumi paksa dan tanam paksa, sistem perbudakan, serta kebijakan penanaman paksa atas komoditas tertentu. Namun sebagai gantinya, Raffles menerapkan sistem land tenure (sewa tanah), yaitu penduduk membayar pajak sewa tanah kepada Pemerintah yang dipandang sebagai "pemilik sah" atas seluruh tanah jajahan, menaikkan pajak perorangan, dan memperluas kegiatan perdagangan. Di bidang pemerintahan, Raffles membentuk pemerintahan yang lebih terpusat, dengan mengurangi hak-hak penguasa setempat, tetapi juga membentuk keresidenan-keresidenan yang menjadi perpanjangan tangan Pemerintah Pusat. Dia tinggal dan menjalankan tugas pemerintahan di Buitenzorg (sekarang Istana Bogor), dengan menunjuk beberapa orang Britania sebagai petinggi, sembari tetap mempertahankan pegawai-pegawai negeri asal Belanda di tubuh pemerintahan. Sementara di bidang politik, Raffles berusaha untuk bernegosiasi dengan penguasa lokal demi mencapai perdamaian, tetapi tetap melancarkan operasi militer kepada penguasa-penguasa lokal yang membangkang, seperti pada peristiwa Geger Sepehi di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.[102][103] Selain karena kebijakannya tersebut, Raffles juga dikenal sebagai seorang peminat sejarahbudaya, dan masyarakat Jawa. Di bawah pengawasannya, banyak situs monumen kuno yang ditemukan dan digali setelah sekian lama terkubur dan dilupakan penduduk setempat saat itu. Contohnya ialah Candi Prambanan di Sleman dan KlatenCandi Borobudur di Magelang, dan struktur-struktur kota kuno di Trowulan.[104][105] Ia juga menuliskan buku tentang sejarah dan keadaan sosiokultural di Pulau Jawa, yang berjudul The History of Java dan diterbitkan pada tahun 1817.

Setelah Belanda terbebas dari kekuasaan Prancis pada tahun 1813, pihak Belanda dan pihak Inggris merundingkan dan menandatangani perjanjian pada tahun 1814, yang secara garis besar menyebutkan bahwa Britania Raya mengembalikan koloni Belanda seperti pada tanggal 1 Januari 1803. Setelah peperangan era Napoleon berakhir pada tahun 1815, Britania Raya menyerahkan kembali Pulau Jawa ke Belanda, yang berhasil memegang kendali penuh atas Pulau Jawa dan bagian-bagian koloni lain di Hindia Belanda setahun setelahnya. Pada tahun-tahun berikutnya, Belanda mengirimkan armada militernya untuk menaklukkan negara-negara lainnya di Nusantara.[106]

Ketampakan kaldera Gunung Tambora, yang menjadi bukti letusan dahsyat gunung ini pada tahun 1815.

Sementara proses serah terima Hindia Belanda antara pihak Britania dan pihak Belanda sedang terjadi, Gunung Tambora di Pulau Sumbawa meletus dengan dahsyat. Gunung ini sebenarnya telah mengeluarkan gemuruh dan asap hitam sejak tahun 1812,[107] tetapi pada tanggal 5 April 1815, gunung ini mulai mengeluarkan letusan dan gemuruh yang hebat, yang suaranya terdengar hingga ke Pulau Sumatra dan Kepulauan Maluku. Lalu pada tanggal 10–11 April, Gunung Tambora akhirnya mengeluarkan letusan terdahsyatnya kala itu,[107] bahkan letusannya diperkirakan memiliki skala VEI sebesar 7, sehingga abu vulkanik yang dikeluarkan mencapai volume sekitar 100 km3, yaitu empat kali lebih besar dari letusan Gunung Krakatau pada tahun 1883.[108] Abu tersebut bahkan mencapai Pulau Kalimantan dan Sulawesi dengan ketebalan 1 cm3. Setelah letusan dahsyat tersebut, aktivitas vulkanik gunung ini berangsur-angsur mereda hingga pada tanggal 17 April.[107] Akibat letusan ini, sebanyak 71 ribu jiwa menjadi korban jiwa dari erupsi gunung ini, dengan 11–12 ribu jiwa diperkirakan menjadi korban langsung saat letusan.[107] Sementara itu, letusan ini juga kemungkinan besar menjadi penyebab terjadinya tahun tanpa musim panas setahun setelah letusan (1816), yang memakan korban belasan ribu jiwa.[109] Kaldera yang besar juga terbentuk akibat runtuhnya puncak Gunung Tambora setelah dapur magma menjadi kosong karena letusan, padahal gunung ini diperkirakan merupakan salah satu gunung tertinggi di Nusantara pada saat itu.[107]

Oleh karena wilayah yang dikembalikan merupakan koloni Belanda sebelum tahun 1803, wilayah kolonial di Nusantara yang diklaim oleh Britania Raya dan bukan milik Belanda pada tahun itu secara otomatis masih menjadi milik Britania Raya, termasuk wilayah Bencoolen (sekarang Bengkulu). Raffles dikirim kembali ke Nusantara, tetapi kali ini sebagai Letnan Gubernur Bengkulu, kemudian melakukan ekspedisi ke berbagai tempat, seperti Padang, Achin (Aceh), Rhio (Riau), Melaka, dan Singapura, meskipun ia dan pasukannya beberapa kali berseteru dengan pasukan Belanda yang juga menginginkan wilayah yang sama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar